KORELASI
STUDI ISLAM DAN SOSIOLOGI
Dosen Pengampu: Andy
Dermawan, M.Ag
Disusun oleh:
Asep Mahfud (
12720045 )
Prodi/Matakuliah/Semester:
Sosiologi/Pengantar
Sosiologi/I
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI
SUNAN
KALIJAGA YOGYAKARTA
2012
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah yang
telah melimpahkan banyak nikmat dan hidayah-NYA pada seluruh makhluk di dunia
ini. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan pada junjunan Nabi besar Muhammad
Saw, keluarga serta para sahabatnya dan mereka yang menyeru dengan seruannya,
dengan berpedoman pada petunjuknya.
Sesungguhnya manusia diciptakan
di bumi ini untuk menjadi khalifah yang mensejahterakan alamnya. Allah sengaja
menciptakan manusia dengan bentuk yang berbeda-beda dengan berbangsa-bangsa,
bersuku-suku, beragam rupa, ras dan lain sebagainya yang bertujuan agar manusia
bisa saling mengenal ( Ta’aruf ) antara satu dengan yang lainnya. Beragam
orang-orang/masyarakat di dunia ini pasti mempunyai ciri dan karakteristiknya
yang berbeda-beda. Dimana setiap orang memiliki kehidupannya tersendiri untuk
bisa hidup di tengah-tengah samudera masyarakat dan saling bersaingan satu sama
lain untuk bertahan hidup sekaligus memiliki status yang lebih baik dalam
kehidupan bermasyarakat.
Dari sekian banyak
manusia/masyarakat yang terus berkembang memberikan sebab akibat yang nyata dan
menimbulkan sebuah pengetahuan dan ketertarikan dari para ahli untuk meneliti
segala fenomena yang terjadi dalam kehidupan masyarakat dengan penelitian yang
bersifat empirik ataupun secara teks ( bayani ). Kemudian dari hal tersebut,
tentang ilmu yang mempelajari kehidupan sosial/masayarakat di sebut sebagai
sosiologi, yaitu hasil akhir dari perkembangan ilmu pengetahuan yang
mempelajari tentang kehidupan masyarakat.
Seiring dengan perkembangan waktu
dan kehidupan yang terus meningkat serta perkembangan zaman yang begitu cepatnya,
meberikan efek/dampak di dalam setiap kehidupan masyarakat. Disini kita sadari
bahwa orang hidup di dunia ini bukan hanya sekedar bergerak tanpa arah dan
tujuan dan bukan hanya sekedar menjadi penunggu bumi saja. Untuk mencapai
sebuah kesejahteraan dalam kesatuan masyarakat dibumi, para manusia butuh
dengan adanya agama dan tuhan. Walaupun di indonesia ini tersedia berbagai macam
agama yang berbeda-beda tapi INSYAALLAH mayoritas penduduk di indonesia
beragama islam. Meskipun banyak orang-orang yang kabur akan pengertian dari
agama dan islam itu sendiri.
Jika kita pelajari secara fundamental, betapa
pentingnya makna dari sebuah agama islam dalam kehidupan umat atau masyarakat
di dunia ini. Islam adalah suatu kebenaran, keselamatan bagi umat manusia di
bumi. Islam memiliki nilai-nilai/aturan yang sangat berpengaruh bagi kehidupan
dan kesejahteraan masyarakat. Karena islam memberikan nilai-nilai penting dalam
kehidupan umat ataupun dalam kesatuan masyarakat, yang dapat merubah pola hidup
manusia menjadi lebih baik. Baik terhadap tuhannya, lingkungannya, maupun
terhadap semua orang. Sebab dari itu maka sangat penting lah adanya
integrasi/korelasi antara hasil akhir dari ilmu pengetahuan ( sosiologi )
dengan ajaran-ajaran yang terkandung dalam islam. Untuk dapat menciptakan pro
fenomena serta kesatuan masyarakat yang bersatu dan sejahtera dengan
berlandasan pada ajaran-ajaran yang terkandung dalam islam.
BAB I
PENDAHULUAN
·
LATAR BELAKANG
Pengkajian
tentang sosiologi bukan lah sesuatu yang baru melainkan pengkajian sosiologi,
ilmu yang mempelajari tentang segala fenomena yang terjadi dalam masyarakat
tersebut sudah dikaji dari sejak abad-abad yang lalu. Seorang ahli yang bernama
August Comte berpendapat bahwa sosiologi merupakan hasil terakhir dari ilmu
pengetahuan. Kemudian dengan seiringnya waktu dan perkembangan zaman lalu
tumbuhlah pengkajian tentang islam seiring dengan berkembangnya pengajaran ilmu
perbandingan sosiologi agama yang di latar belakangi oleh faktor kepustakaan
islam yang masih langka dan kurang memadai serta bersifat ekslusif.
Telah
banyak dari para ahli dari barat yang telah mempelajari atau meneliti tentang
ilmu penegtahuan ( sosiologi ) seperti marx, weber dan yang lainnya, yang
berasal atau bermula dari pemikiran seorang tokoh dari timur yaitu Abu zaid
Abdurrahman Ibnu Muhammad ibnu Khaldun al-Hadrami atau panggilan yang
masyhurnya biasa disebut dengan Ibnu Khaldun. Yang merupakan salah satu
sejarawan muslim sekaligus Bapak yang pertama kali mendirikan ilmu sosiologi.
Dengan
adanya ilmu sosiologi diharapkan akan memberikan memberikan dan membuka
cakrawala baru bagi pendekatan suatu realita yang sampai sekarang masih rancu,
beragam dan ruwet keadaannya, yaitu dengan membungkus ilmu sosiologi kedalam
wadah islam. Dengan terintegrasinya ilmu sosiologi dengan islam maka akan
menjadikan sesuatu yang dapat menghasilkan suatu pemecahan masalah yang ada
dalam kehidupan setiap orang/masyarakat.
Sesungguhnya telah begitu banyak
pengkajian islam terlalu bersifat khusus untuk dapat mencakup selayaknya
segi-segi pokok dari sosiologis yang menyangkut fenomena-fenomena islam.
Kemudian banyak pula dari catatan penting islam yang termuat dalam sejaraj
agama-agama mempunyai isi sosiologis yang samar. Maka dari itu amatlah penting
akan kebutuhan dari penelitian-penelitian tentang islam, yang akan
mengungkapkan segi-segi penting sejarah dan struktur masyarakatnya dalam
kerangka sosiologis yang luas dan yang ada relevansinya dengan
permaslahan-permaslahan teoritis modern.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENAFSIRAN ISLAM MENURUT
WEBER
Pengkajian
tentang islam merupakan sosiologis yang terlantar, baik dalam bidang
fenomenologi maupun sejarah agama-agama. Memang nyaris tidak ada sesuatu
penyelidikan penting tentang islam dan masyarakat islam. Kadang-kadang para
ahli islamologi menerangkan ketiadaan tradisi ilmiah dengan kata-kata yang
menyalahkan kegersangan dan ketidak aslian islam. Marx dan Durkheim hanya
sedikit sekali atau bahkan tidak pernah mengatakan apa-apa tentang islam,
sedangkan Weber meninggal dunia sebelum karyanya “Religion Soziologie” rampung
dengan isi yang paripurna tentang islam. Kebanyakan proyek penelitian dari para
ahli pendiri sosiologi, hanyalah mengenai tentang kristen, agama-agama primitif
di asia, akan tetapi jarang terdapat tradisi yang kuat mengenai penyelidikan-penyelidikan
islam yang berurat akar dalam tanah sosiologi modern.
Cara Weber dalam menafsirkan dan memperlakukan
islam secara faktual sangatlah lemah, tidak seperti tesa khususnya Calvinisme,
yang mula-mula dikembangkan Weber dalam karyanya The protestant ethic and the
spirit of capitalism. Pada umumnya pembahasan Weber tentang islam yang
menggunakan istilah-istilah dominasi patrimonial dan foedalisme sejalan dengan
sosiologi marx, walaupun tidak dengan marxisme. Dalam memahami Weber, banyak sosiolog
yang mengalami banyak keruwetan alasan-alasan dan uraiannya, tetapi mereka
sependapat, bahwa memang ada suatu tema sentral dalam karya Weber yang
menyatukan dan mempersatukan pemikiran sosiologis nya.
Catatan-catatan Weber tentang islam
kelihatannya hanya sebagai pendamping saja bagi analisis sosiologis Etika
protestannya. Memang Weber memandang islam dalam banyak segi, sebagai lawan
puritanisme. Bagi Weber, islam bersemangat hedonis murni, yang mengutamakan
kesenangan dan kebahagiaan dalam hidup, khusunya terhadap wanita, kemewahan dan
harta benda. Mengingat kemudahan yang diberikan oleh Etika Qur’an, tidaklah
terdapat pertentangan antara perintah-perintah moral dan duniawi dan hasilnya
adalah, bahwa tidak mungkin etika asketis yang dominan akan muncul dalam dunia
islam.
Kemudian ketika Weber mulai menganalisa islam
ia memusatkannya pada sifat-sifat politik, militer dan ekonomi masyarakat
muslim sebagain suatu bentuk dominasi patrimonial. Ia memperlakukan peranan
nilai-nilai sebagai nomor dua dan tergantung pada kondisi sosial islam.
Sepanjang Weber benar-benar menganut posisi itu, maka analisanya tidak berbeda
jauh dengan Marx dan Engels yang menyatakan, bahwa mode produksi asia, ciri
khasnya india, cina dan turki telah melahirkan tatanan sosial yang tahan
menderita, dan tidak laras dengan kapitalisme. Jika Weber benar-benar berpegang
teguh pada penafsiran ini, yaitu industrialisasi islam terhalang oleh ketidak
stabilan yang diciptakan oleh struktur politik militernya, maka hasil yang
diperolehnya benar-benar luar biasa.
B.
PEMBAHARUAN ISLAM DAN
SOSIOLOGI MOTIF-MOTIF
Menurut
weber mengenai islam, yang menjadi maslah pokok dalam perkembangan islam adalah
dominasi kendali patrimonial. Berabad-abad sebelum kehancuran sultan usmani
pada periode modern, peradaban islam telah terpecah-pecah menjadi bagian-bagian
kecil dan dikuasai oleh para tentara dinasti-dinasti patrimonial ( abasyiah,
mamluk, usmaniyah ). Dengan adanya bentuk kekuasaan yang perianal ini, masyarakat
islam tidak dapat mengembangkan institusi-institusi yang ada di barat yang
sangat berarti sekali bagi kebangkitan kapitalisme modern.
Adanya istilah motif yang di ungkapkan weber,
dalam tafsiran sosiologi adalah suatu deskripsi verbal yang memberikan
gambaran,penjelasan atau dasar kebenaran tingkah laku yang dilakukan oleh
seorang aktor sosial. Untuk memahami motif-motif maka perlu adanya analisa dari
konteks-konteks sosial yang subyektif dari hubungan-hubungan antar manusia yang
pada dasarnya dipengaruhi oleh perubahan-perubahan kultural dan ekonomi dalam
masyarkat.
Menurut pandangan Weber tentang islam, bahwa
pada abad ketujuh merupakan suatu penentuan perkembangan motif-motif islam.
Menurutnya islam sebelum berhijrah ke madinah merupakan ajaran monoteis murni
yang mungkin akan mengakibatkan aketisme duniawi, tetapi islam dibelokan dari
etika transformatif ini. Dalam pandangan weber, bahwa kepercayaan yang ortodoks
dan kepastian yang mendalam dari para umat islam tidak begitu penting
dibandingkan dengan keanggotaan masyarakat. Situasi ini tercermin di dalam dua
ide yaitu Dar al-islam ( rumah tangga kepada tuhan ) dan Dar Harb ( rumah
tangga non islam ). Kesetiaan pada bentuk lahiriah agama, upacara-upacara agama
dan institusi-institusi masyarakat menjadi lebih penting ketimbang perubahan
perorangan. Islam awal puas dengan pernyataan kesetiaan pada tuhan dan pada
Nabi, bersama-sama dengan beberapa perintah utama yang praktis dan ritual,
sebagai dasar keanggotaan.
Mengenai
etika islam, terdapat sejumlah kebertan yang kuat terhadap pandangan weber.
Weber terlalu berlebihan dalam menkankan peranan khusus masyarakat muslim dan
mungkin dan mungkin tidak menyadari pentingnya para saudagar dalam pembentukan
nilai-nilai islam awal. Para saudagar menciptakan sebuah panggilan di dunia
yang menempatkan motif-motif bisnis di tempat yang tertinggi. Baik nilai-nilai
humanisme kesukuan maupun etika bisnis kaum elit perkotaan. Tipe ideal weber
yaitu, islam sebagai sebuah agama para pembesar terlalu kaku dalam menghadapi
sejumlah besar perubahan motivasi yang dapat dideteksi dalam islam melalui
perubahan-perubahan pada struktur sosialnya.
C.
ISLAM DAN SEKULERISASI
Rasionalitas dan organisasi birokratis
menjadikan orang-orang lebih modern dan menjadikan pengendalian yang efektif
terhadap alam dan masyarakat, membebaskannya dari kegelisahan-kegelisahan dunia
yang tidak dapat diramalkan dan melepaskannya dari kekuasaan kekuatan-kekuatan
ghaib. Akan tetapi, penciptaan dunia yang seperti mesin tidak sekaligus
menjamin kebebasan politik. Sebaliknya, di gunakannya bentuk-bentuk organisasi
yang birokratis yang akan menyebabkan manipulasi manusia oleh lembaga-lembaga
yang justru telah diciptakan untuk masyarakat. Weber terkesima oleh
perkembangan-perkembangan institusional zamannya, rasa kehawatirannya yang
pesimitis jauh lebih tertuju pada masalah nilai-nilai modern, kesadaran sosial
dan pengalaman subyektif suatu masyarakat rasional. Persoalan yang dihadapi
oleh manusia modern adalah bahwa dunia sosial dan dunia pribadinya pada
dasarnya telah menjadi begitu kecil. Kodifikasi hukum, ilmu pengetahuan ilmiah,
organisasi rasional dapat membantu merumuskan sarana yang sesuai untuk mencapai
tujuan-tujuan hidup, namun prosedur-prosedur tersebut tidak dapat membantu kita
untuk memilih diantara nilai-nilai yang absolut atau tujuan yang bersaing.
Penggambaran weber mengenai jurang antara pengetahuan rasional dan pertimbangan
moral sangat erat hubungannya dengan filsafat ilmu pengetahuan sosial sendiri,
terutama dengan gagasan yang netralitas etis.
Dalam
pembicaraan weber mengenai sekulerisasi, sanggahannya tidaklah sampai bahwa
“Tuhan telah mati”, tetapi tidak lebih bahwa masyarakat modern menghasilkan
banyak dewa yang tidak memiliki kekuatan, baik secara individual maupun
kolektif. Perkembangan ilmu pengetahuan yang progresif dan meningkatnya
spesialisasi semua lapangan membangkitkan semua pandangan dan tafsiran yang tak
terbilang banyaknya terhadap realitas, tetapi justru karena
penafsiran-penafsiran ini tidak terbatas dan tidak dapat dijadikan suatu nilai
yang absolut. Dari segi pengalaman manusia, bahwa tak ada momen-momen
peningkatan semangat kharismatik klimaks moral. Manusia modern malah hidup di
dataran yang tidak terbatas tanpa horison-horison, sebuah kebakaan duniawi tanpa
arti yang mendasar. Ditingkat umum, sekulerisasi mengesankan suatu kekosongan
moral yang tidak dapat diisi oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan tidak dapat
dimiliki kembali oleh Dewa-dewa yang lama.
Ada kemiripan yang sangat mencolok
antara pandangan Weber dan Durkheim mengenai sekulerisasi pada peralihan abad.
Durkheim juga mengatakan perubahan sosial telah menghilangkan batas-batas
tradisional yang memberi arti dan kemantapan pada kehidupan. Dalam masa
transisi antara perintah-perintah normatif tradisional dan bentuk-brntuk baru
nurani kolektif, akan timbul sejumlah anomi dan ketidakpastian, yang tercermin
pada angka kenaikan bunuh diri, tetapi durkheim beranggapan bahwa masa depan
akan membawa kenaikan-kenaikan semangat kreatif keagamaan.
Dan
menurut pandangan Berger, sektor-sektor umum yang dominan, industri, politik
serta hukum telah dilepaskan dari penguasaan tujuan-tujuan agama yang mengikat
sedemikian rupa sehingga kita mengalami dunia yang terpecah-pecah dan tidak
mantap. Dengan demikian, ada kaitan penting antara perubahan-perubahan
struktural yang diakibatkan oleh produksi kapitalis dan kekosongan empiris
kepercayaan-kepercayaan moral yang menjadi kian tidak mantap.
D.
SOSIOLOGI AGAMA IBNU
KHALDUN
Durkheim
sebagai seorang ahli dalam bidang ilmu sosiologi agama modern, melatakan agama
sebagai sumber solidaritas sosial masyarakat, khususnya bagi masyarakat yang
lebih sederhana, meskipun mereka tidak berkumpul satu sama lain. memposisikan
agama sebagai sumber identitas kelompok dan sumber solidaritas sosial telah
melahirkan berbagai corak teoritik mengenai hal tersebut. Ibnu Khaldun sendir
berpendapat bahwa solidaritas atau ashobiyah muncul dari konstruksi agama, ia
melihat peraturan keagamaan berada dalam transisi antar kehidupan nomaden dan
menetap. Islam menurut Ibnu Khaldun dapat menetralkan partikularisme kelompok,
membawanya pada kekuatan dan kesatuan yang dibutuhkan bagi sebuah keberhasilan.
Dalam hal ini, Ibnu Khaldun menganggap bahwa agama sebagai sumber kekuatan yang
mampu mengikat masyarakat dalam membentuk suatu kelompok-kelompok yang lebih
soli, lebih kuat dan maju.
Dalam
ajaran islam yang diyakini Ibnu Khaldun sebagai sumber kebenaran dan sumber
niali yang dapat membangun solidaritas sosial, memiliki perangkat-perangkat
norma dan nilai yang dapat membangun solidaritas sosial, memiliki
perangkat-perangkat norma dan nilai yang menuntun manusia pada tingkah laku
yang baik. Islam menjadi sumber otoritas sosial manusia untuk menentukan suatu
tindakan sosialnya, lebih dari itu islam menurut Ibnu Khaldun dapat membantu
manusia untuk mengembangkan perasaan berkelompok orang-orang, yang tidak hamya
terbatas pada hubungan kekeluargaan, melainkan menumbuhkan suatu solidaritas
kelompok atau organisasi.
Tingkat
abstraksi Ibnu Khaldun mengenai masyarakatnya yang secara sederhana, ia
menyebutnya dengan masyarakat nomaden(pengembara) dan masyarakat kota
(menetap), pada dasarnya merupakan konsep-konsep sosiologi. Penjelasannya
dengan solidaritas yang dibingkai agama dalam masyarakat yang multi etnik
(plural), kelompok-kelompok dan suku-suku menjadi hangat yang dibingkai denagn
agama.
E.
AGAMA, ETNIS DAN CITA-CITA
KELOMPOK
Dalam
kajian tentang masyarakat terbelakang dan suku-suku tradisional, seringkali
melahirkan suatu kesimpulan bahwa mereka memiliki tingkat solidaritas yang
tinggi. Solidaritas tersebut diikat oleh suatu keyakinan bersama mengenai
adanya tuhan semesta alam.
Cita-cita
kelompok atau suku biasanya muncul dari lembaga-lembaga atau agama yang
dilembagakan seperti dalam masyarakat sederhana. Dalam masyarkat seperti ini,
agama dilembagakan, doktrin dan ritual keagamaan telah dibakukan dan diresmikan
serta dipandang penting bagi anggota suku-suku.
Menurut
pandangan Ibnu Khaldun, bahwa tidak ada perbedaan antara etnis dan agama.
Konsep ahobiyah yang merupakan konsep kunci pemikiran sosiologi Ibnu Khaldun
dapat menjadi pisau analisis dalam memahami kondisi-kondisi sosial masyarakat.
Menurut Spickard, dua istilah etnis dan agama, tidak ada yang lebih unggul satu
dibanding lainnya, perasaan berkelompok sendiri bisa dimiliki oleh setiap orang
seiring dengan pertemuan terjadi. Agama dan etnik menurut Ibnu Khaldun,
merupakan identitas sendiri bukanlah merupakan atribut persnonal, melainkan
atribut kelompok. Itulah alasannya, etnisitas dan agama merupakan fungsi
kelompok, yang dalam bahasa Khaldun disebut dengan Ashobiyah.
Masyarakat
terbangun diatas pluralitas agama, etnik, suku-suku, dan berbagai kelompok yang
memiliki kecenderungan dan cita-cita politik sendiri-sendiri. Dalam sejarah,
masyarakat dan agama merupakan dua entitas yang selalu menyatu dengan dimensi
kehidupan manusia.
BAB III
ARGUMENTASI PRIBADI
Sesungguhnya dalam kehidupan manusia tidak pernah lepas dari
adanya perbedaan antara individu satu dengan yang lainnya. Dalam kehidupan
masyarakat selalu tersimpan/terbentuk suatu fenomena nyata yang tak bisa
dihindari oleh manusia, karena kehidupan manusia yang bersifat dinamis dan
selalu berkembang dari waktu ke waktu. Terbentuknya suatu kelompok atau tatanan
masyarakat dan berbagai konflik dan fenomena yang terjadi di dalamnya, menarik
perhatian dari para ahli sosiologi dari barat, seperti weber, marx, durkheim
dan yang lainnya, untuk membuat suatu proyek penelitian terhadap kehidupan
masyarakat.
Dalam kehidupan masyarakat dan terciptanya solidaritas yang
tinggi dalam kelompok-kelompok sosial di karenakan adanya landasan atau dasar dari
agama yang diyakini. Dengan adanya agama/nilai-nilai agam dalam setiap
kehidupan masyarakat, dapat menjadi faktor pemersatu antara manusia satu dengan
yang lainnya dan menanamkan perasaan solidaritas dalam lingkaran kehidupan
sosial manusia. Maka dari itu adanya korelasi antara islam/agama dengan
sosiologi, sangatlah penting, keduanya mempunyai keterkaitan yang sangat erat
untuk dapat menciptakan masyarakat yang damai dan sejahtera.
Sesungguhnya agama dan masyarakat merupakan dua entitas yang
menyatu dan terkait, agama islam dapat menjadi pemandu bagi moralitas
warga/masyarakat, dan juga menjadi posisi sentral bagi terbentuknya suku dan
etnik. Dalam kehidupan masyarakat agama adalah suatu sumber otoritatif bagi
terbentuknya ashobiyah/solidaritas, baik dikalangan masyarakat nomaden maupun
dikalangan masyarakat menetap. Agama islam dijadikan dasar titik sentral yang
dapat mengikat adanya interaksi sosial tiap individu serta yang dapat mengatur
hubungan sosial masyarakat dengan baik, dan adanya nilai-nilai agama ialah
menjadi Patron untuk dapat membentuk watak dalam tiap individu. Dalam hal ini,
agama yang terdapat dalam masyarakat (khususnya agama islam) memiliki pola
keyakinan/doktrin yang dapat menentukan manusia untuk dapat menjalin hubungan
baik dengan sesamanya maupun dengan Allah Swt.
Betapa pentingnya peran dan fungsi islam/agama dalam
kehidupan setiap individu atau masyarakat. Agama merupakan suatu alat yang bisa
mempersatukan kehidupan yang memiliki orientasi religius, dari adanya keyakinan
atau agama dalam kehidupan manusia dapat menghilangkan persaingan dan perasaan
saling iri dan dengki yang selalu ada dalam kelompok, suku, etnik, dan
masyarakat. Dengan adanya agama dalam lingkaran masyarakat dapat membangun
bangunan struktur politik dan mengembangkan perekonomian dalam kehidupan
masyarakat.
Dari sosiologi islam Ibnu Khaldun, perlu diketahui bahwa
islam memiliki kebersinggungan langsung dengan dialektika sosial yang
berlangsung dalam realitas kehidupan masyarakat. Agama ,masyarakat dan
perubahan sosial memiliki pengaruh yang sangat kuat untuk dapat membentuk
peradaban manusia yang sejahtera.
DAFTAR PUSTAKA
o
Bryan S. Turner, SOSIOLOGI
ISLAM Suatu Telaah Analitis Atas Tesa Sosiologi Weber, 1984, Jakarta, Hal: 3 – 8, 261 – 278, 289 – 299.
o
Syarifudin jurdi, SOSIOLOGI
ISLAM Elaborasi Pemikiran Sosial Ibnu Khaldun, 2008, Yogyakarta, Hal: 198 –
204, 205 – 211.