Selasa, 06 November 2012

MAKALAH KORELASI STUDI ISLAM DAN SOSIOLOGI



KORELASI STUDI ISLAM DAN SOSIOLOGI
Dosen Pengampu: Andy Dermawan, M.Ag


Disusun oleh:
Asep Mahfud ( 12720045 )
Prodi/Matakuliah/Semester:
Sosiologi/Pengantar Sosiologi/I

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2012


KATA PENGANTAR

               Segala puji bagi Allah yang telah melimpahkan banyak nikmat dan hidayah-NYA pada seluruh makhluk di dunia ini. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan pada junjunan Nabi besar Muhammad Saw, keluarga serta para sahabatnya dan mereka yang menyeru dengan seruannya, dengan berpedoman pada petunjuknya.
              Sesungguhnya manusia diciptakan di bumi ini untuk menjadi khalifah yang mensejahterakan alamnya. Allah sengaja menciptakan manusia dengan bentuk yang berbeda-beda dengan berbangsa-bangsa, bersuku-suku, beragam rupa, ras dan lain sebagainya yang bertujuan agar manusia bisa saling mengenal ( Ta’aruf ) antara satu dengan yang lainnya. Beragam orang-orang/masyarakat di dunia ini pasti mempunyai ciri dan karakteristiknya yang berbeda-beda. Dimana setiap orang memiliki kehidupannya tersendiri untuk bisa hidup di tengah-tengah samudera masyarakat dan saling bersaingan satu sama lain untuk bertahan hidup sekaligus memiliki status yang lebih baik dalam kehidupan bermasyarakat.
             Dari sekian banyak manusia/masyarakat yang terus berkembang memberikan sebab akibat yang nyata dan menimbulkan sebuah pengetahuan dan ketertarikan dari para ahli untuk meneliti segala fenomena yang terjadi dalam kehidupan masyarakat dengan penelitian yang bersifat empirik ataupun secara teks ( bayani ). Kemudian dari hal tersebut, tentang ilmu yang mempelajari kehidupan sosial/masayarakat di sebut sebagai sosiologi, yaitu hasil akhir dari perkembangan ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang kehidupan masyarakat.
             Seiring dengan perkembangan waktu dan kehidupan yang terus meningkat serta perkembangan zaman yang begitu cepatnya, meberikan efek/dampak di dalam setiap kehidupan masyarakat. Disini kita sadari bahwa orang hidup di dunia ini bukan hanya sekedar bergerak tanpa arah dan tujuan dan bukan hanya sekedar menjadi penunggu bumi saja. Untuk mencapai sebuah kesejahteraan dalam kesatuan masyarakat dibumi, para manusia butuh dengan adanya agama dan tuhan. Walaupun di indonesia ini tersedia berbagai macam agama yang berbeda-beda tapi INSYAALLAH mayoritas penduduk di indonesia beragama islam. Meskipun banyak orang-orang yang kabur akan pengertian dari agama dan islam itu sendiri.
              Jika kita pelajari secara fundamental, betapa pentingnya makna dari sebuah agama islam dalam kehidupan umat atau masyarakat di dunia ini. Islam adalah suatu kebenaran, keselamatan bagi umat manusia di bumi. Islam memiliki nilai-nilai/aturan yang sangat berpengaruh bagi kehidupan dan kesejahteraan masyarakat. Karena islam memberikan nilai-nilai penting dalam kehidupan umat ataupun dalam kesatuan masyarakat, yang dapat merubah pola hidup manusia menjadi lebih baik. Baik terhadap tuhannya, lingkungannya, maupun terhadap semua orang. Sebab dari itu maka sangat penting lah adanya integrasi/korelasi antara hasil akhir dari ilmu pengetahuan ( sosiologi ) dengan ajaran-ajaran yang terkandung dalam islam. Untuk dapat menciptakan pro fenomena serta kesatuan masyarakat yang bersatu dan sejahtera dengan berlandasan pada ajaran-ajaran yang terkandung dalam islam.

BAB I
PENDAHULUAN

·         LATAR BELAKANG
              Pengkajian tentang sosiologi bukan lah sesuatu yang baru melainkan pengkajian sosiologi, ilmu yang mempelajari tentang segala fenomena yang terjadi dalam masyarakat tersebut sudah dikaji dari sejak abad-abad yang lalu. Seorang ahli yang bernama August Comte berpendapat bahwa sosiologi merupakan hasil terakhir dari ilmu pengetahuan. Kemudian dengan seiringnya waktu dan perkembangan zaman lalu tumbuhlah pengkajian tentang islam seiring dengan berkembangnya pengajaran ilmu perbandingan sosiologi agama yang di latar belakangi oleh faktor kepustakaan islam yang masih langka dan kurang memadai serta bersifat ekslusif.
            Telah banyak dari para ahli dari barat yang telah mempelajari atau meneliti tentang ilmu penegtahuan ( sosiologi ) seperti marx, weber dan yang lainnya, yang berasal atau bermula dari pemikiran seorang tokoh dari timur yaitu Abu zaid Abdurrahman Ibnu Muhammad ibnu Khaldun al-Hadrami atau panggilan yang masyhurnya biasa disebut dengan Ibnu Khaldun. Yang merupakan salah satu sejarawan muslim sekaligus Bapak yang pertama kali mendirikan ilmu sosiologi.
             Dengan adanya ilmu sosiologi diharapkan akan memberikan memberikan dan membuka cakrawala baru bagi pendekatan suatu realita yang sampai sekarang masih rancu, beragam dan ruwet keadaannya, yaitu dengan membungkus ilmu sosiologi kedalam wadah islam. Dengan terintegrasinya ilmu sosiologi dengan islam maka akan menjadikan sesuatu yang dapat menghasilkan suatu pemecahan masalah yang ada dalam kehidupan setiap orang/masyarakat.   
             Sesungguhnya telah begitu banyak pengkajian islam terlalu bersifat khusus untuk dapat mencakup selayaknya segi-segi pokok dari sosiologis yang menyangkut fenomena-fenomena islam. Kemudian banyak pula dari catatan penting islam yang termuat dalam sejaraj agama-agama mempunyai isi sosiologis yang samar. Maka dari itu amatlah penting akan kebutuhan dari penelitian-penelitian tentang islam, yang akan mengungkapkan segi-segi penting sejarah dan struktur masyarakatnya dalam kerangka sosiologis yang luas dan yang ada relevansinya dengan permaslahan-permaslahan teoritis modern.







BAB II
PEMBAHASAN

A.      PENAFSIRAN ISLAM MENURUT WEBER
             Pengkajian tentang islam merupakan sosiologis yang terlantar, baik dalam bidang fenomenologi maupun sejarah agama-agama. Memang nyaris tidak ada sesuatu penyelidikan penting tentang islam dan masyarakat islam. Kadang-kadang para ahli islamologi menerangkan ketiadaan tradisi ilmiah dengan kata-kata yang menyalahkan kegersangan dan ketidak aslian islam. Marx dan Durkheim hanya sedikit sekali atau bahkan tidak pernah mengatakan apa-apa tentang islam, sedangkan Weber meninggal dunia sebelum karyanya “Religion Soziologie” rampung dengan isi yang paripurna tentang islam. Kebanyakan proyek penelitian dari para ahli pendiri sosiologi, hanyalah mengenai tentang kristen, agama-agama primitif di asia, akan tetapi jarang terdapat tradisi yang kuat mengenai penyelidikan-penyelidikan islam yang berurat akar dalam tanah sosiologi modern.
             Cara Weber dalam menafsirkan dan memperlakukan islam secara faktual sangatlah lemah, tidak seperti tesa khususnya Calvinisme, yang mula-mula dikembangkan Weber dalam karyanya The protestant ethic and the spirit of capitalism. Pada umumnya pembahasan Weber tentang islam yang menggunakan istilah-istilah dominasi patrimonial dan foedalisme sejalan dengan sosiologi marx, walaupun tidak dengan marxisme. Dalam memahami Weber, banyak sosiolog yang mengalami banyak keruwetan alasan-alasan dan uraiannya, tetapi mereka sependapat, bahwa memang ada suatu tema sentral dalam karya Weber yang menyatukan dan mempersatukan pemikiran sosiologis nya.
             Catatan-catatan Weber tentang islam kelihatannya hanya sebagai pendamping saja bagi analisis sosiologis Etika protestannya. Memang Weber memandang islam dalam banyak segi, sebagai lawan puritanisme. Bagi Weber, islam bersemangat hedonis murni, yang mengutamakan kesenangan dan kebahagiaan dalam hidup, khusunya terhadap wanita, kemewahan dan harta benda. Mengingat kemudahan yang diberikan oleh Etika Qur’an, tidaklah terdapat pertentangan antara perintah-perintah moral dan duniawi dan hasilnya adalah, bahwa tidak mungkin etika asketis yang dominan akan muncul dalam dunia islam.
             Kemudian ketika Weber mulai menganalisa islam ia memusatkannya pada sifat-sifat politik, militer dan ekonomi masyarakat muslim sebagain suatu bentuk dominasi patrimonial. Ia memperlakukan peranan nilai-nilai sebagai nomor dua dan tergantung pada kondisi sosial islam. Sepanjang Weber benar-benar menganut posisi itu, maka analisanya tidak berbeda jauh dengan Marx dan Engels yang menyatakan, bahwa mode produksi asia, ciri khasnya india, cina dan turki telah melahirkan tatanan sosial yang tahan menderita, dan tidak laras dengan kapitalisme. Jika Weber benar-benar berpegang teguh pada penafsiran ini, yaitu industrialisasi islam terhalang oleh ketidak stabilan yang diciptakan oleh struktur politik militernya, maka hasil yang diperolehnya benar-benar luar biasa.

B.      PEMBAHARUAN ISLAM DAN SOSIOLOGI MOTIF-MOTIF
              Menurut weber mengenai islam, yang menjadi maslah pokok dalam perkembangan islam adalah dominasi kendali patrimonial. Berabad-abad sebelum kehancuran sultan usmani pada periode modern, peradaban islam telah terpecah-pecah menjadi bagian-bagian kecil dan dikuasai oleh para tentara dinasti-dinasti patrimonial ( abasyiah, mamluk, usmaniyah ). Dengan adanya bentuk kekuasaan yang perianal ini, masyarakat islam tidak dapat mengembangkan institusi-institusi yang ada di barat yang sangat berarti sekali bagi kebangkitan kapitalisme modern.
             Adanya istilah motif yang di ungkapkan weber, dalam tafsiran sosiologi adalah suatu deskripsi verbal yang memberikan gambaran,penjelasan atau dasar kebenaran tingkah laku yang dilakukan oleh seorang aktor sosial. Untuk memahami motif-motif maka perlu adanya analisa dari konteks-konteks sosial yang subyektif dari hubungan-hubungan antar manusia yang pada dasarnya dipengaruhi oleh perubahan-perubahan kultural dan ekonomi dalam masyarkat.
             Menurut pandangan Weber tentang islam, bahwa pada abad ketujuh merupakan suatu penentuan perkembangan motif-motif islam. Menurutnya islam sebelum berhijrah ke madinah merupakan ajaran monoteis murni yang mungkin akan mengakibatkan aketisme duniawi, tetapi islam dibelokan dari etika transformatif ini. Dalam pandangan weber, bahwa kepercayaan yang ortodoks dan kepastian yang mendalam dari para umat islam tidak begitu penting dibandingkan dengan keanggotaan masyarakat. Situasi ini tercermin di dalam dua ide yaitu Dar al-islam ( rumah tangga kepada tuhan ) dan Dar Harb ( rumah tangga non islam ). Kesetiaan pada bentuk lahiriah agama, upacara-upacara agama dan institusi-institusi masyarakat menjadi lebih penting ketimbang perubahan perorangan. Islam awal puas dengan pernyataan kesetiaan pada tuhan dan pada Nabi, bersama-sama dengan beberapa perintah utama yang praktis dan ritual, sebagai dasar keanggotaan.
             Mengenai etika islam, terdapat sejumlah kebertan yang kuat terhadap pandangan weber. Weber terlalu berlebihan dalam menkankan peranan khusus masyarakat muslim dan mungkin dan mungkin tidak menyadari pentingnya para saudagar dalam pembentukan nilai-nilai islam awal. Para saudagar menciptakan sebuah panggilan di dunia yang menempatkan motif-motif bisnis di tempat yang tertinggi. Baik nilai-nilai humanisme kesukuan maupun etika bisnis kaum elit perkotaan. Tipe ideal weber yaitu, islam sebagai sebuah agama para pembesar terlalu kaku dalam menghadapi sejumlah besar perubahan motivasi yang dapat dideteksi dalam islam melalui perubahan-perubahan pada struktur sosialnya.

C.      ISLAM DAN SEKULERISASI
            Rasionalitas dan organisasi birokratis menjadikan orang-orang lebih modern dan menjadikan pengendalian yang efektif terhadap alam dan masyarakat, membebaskannya dari kegelisahan-kegelisahan dunia yang tidak dapat diramalkan dan melepaskannya dari kekuasaan kekuatan-kekuatan ghaib. Akan tetapi, penciptaan dunia yang seperti mesin tidak sekaligus menjamin kebebasan politik. Sebaliknya, di gunakannya bentuk-bentuk organisasi yang birokratis yang akan menyebabkan manipulasi manusia oleh lembaga-lembaga yang justru telah diciptakan untuk masyarakat. Weber terkesima oleh perkembangan-perkembangan institusional zamannya, rasa kehawatirannya yang pesimitis jauh lebih tertuju pada masalah nilai-nilai modern, kesadaran sosial dan pengalaman subyektif suatu masyarakat rasional. Persoalan yang dihadapi oleh manusia modern adalah bahwa dunia sosial dan dunia pribadinya pada dasarnya telah menjadi begitu kecil. Kodifikasi hukum, ilmu pengetahuan ilmiah, organisasi rasional dapat membantu merumuskan sarana yang sesuai untuk mencapai tujuan-tujuan hidup, namun prosedur-prosedur tersebut tidak dapat membantu kita untuk memilih diantara nilai-nilai yang absolut atau tujuan yang bersaing. Penggambaran weber mengenai jurang antara pengetahuan rasional dan pertimbangan moral sangat erat hubungannya dengan filsafat ilmu pengetahuan sosial sendiri, terutama dengan gagasan yang netralitas etis.
             Dalam pembicaraan weber mengenai sekulerisasi, sanggahannya tidaklah sampai bahwa “Tuhan telah mati”, tetapi tidak lebih bahwa masyarakat modern menghasilkan banyak dewa yang tidak memiliki kekuatan, baik secara individual maupun kolektif. Perkembangan ilmu pengetahuan yang progresif dan meningkatnya spesialisasi semua lapangan membangkitkan semua pandangan dan tafsiran yang tak terbilang banyaknya terhadap realitas, tetapi justru karena penafsiran-penafsiran ini tidak terbatas dan tidak dapat dijadikan suatu nilai yang absolut. Dari segi pengalaman manusia, bahwa tak ada momen-momen peningkatan semangat kharismatik klimaks moral. Manusia modern malah hidup di dataran yang tidak terbatas tanpa horison-horison, sebuah kebakaan duniawi tanpa arti yang mendasar. Ditingkat umum, sekulerisasi mengesankan suatu kekosongan moral yang tidak dapat diisi oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan tidak dapat dimiliki kembali oleh Dewa-dewa yang lama.
            Ada kemiripan yang sangat mencolok antara pandangan Weber dan Durkheim mengenai sekulerisasi pada peralihan abad. Durkheim juga mengatakan perubahan sosial telah menghilangkan batas-batas tradisional yang memberi arti dan kemantapan pada kehidupan. Dalam masa transisi antara perintah-perintah normatif tradisional dan bentuk-brntuk baru nurani kolektif, akan timbul sejumlah anomi dan ketidakpastian, yang tercermin pada angka kenaikan bunuh diri, tetapi durkheim beranggapan bahwa masa depan akan membawa kenaikan-kenaikan semangat kreatif keagamaan.
             Dan menurut pandangan Berger, sektor-sektor umum yang dominan, industri, politik serta hukum telah dilepaskan dari penguasaan tujuan-tujuan agama yang mengikat sedemikian rupa sehingga kita mengalami dunia yang terpecah-pecah dan tidak mantap. Dengan demikian, ada kaitan penting antara perubahan-perubahan struktural yang diakibatkan oleh produksi kapitalis dan kekosongan empiris kepercayaan-kepercayaan moral yang menjadi kian tidak mantap.


D.      SOSIOLOGI AGAMA IBNU KHALDUN
             Durkheim sebagai seorang ahli dalam bidang ilmu sosiologi agama modern, melatakan agama sebagai sumber solidaritas sosial masyarakat, khususnya bagi masyarakat yang lebih sederhana, meskipun mereka tidak berkumpul satu sama lain. memposisikan agama sebagai sumber identitas kelompok dan sumber solidaritas sosial telah melahirkan berbagai corak teoritik mengenai hal tersebut. Ibnu Khaldun sendir berpendapat bahwa solidaritas atau ashobiyah muncul dari konstruksi agama, ia melihat peraturan keagamaan berada dalam transisi antar kehidupan nomaden dan menetap. Islam menurut Ibnu Khaldun dapat menetralkan partikularisme kelompok, membawanya pada kekuatan dan kesatuan yang dibutuhkan bagi sebuah keberhasilan. Dalam hal ini, Ibnu Khaldun menganggap bahwa agama sebagai sumber kekuatan yang mampu mengikat masyarakat dalam membentuk suatu kelompok-kelompok yang lebih soli, lebih kuat dan maju.
             Dalam ajaran islam yang diyakini Ibnu Khaldun sebagai sumber kebenaran dan sumber niali yang dapat membangun solidaritas sosial, memiliki perangkat-perangkat norma dan nilai yang dapat membangun solidaritas sosial, memiliki perangkat-perangkat norma dan nilai yang menuntun manusia pada tingkah laku yang baik. Islam menjadi sumber otoritas sosial manusia untuk menentukan suatu tindakan sosialnya, lebih dari itu islam menurut Ibnu Khaldun dapat membantu manusia untuk mengembangkan perasaan berkelompok orang-orang, yang tidak hamya terbatas pada hubungan kekeluargaan, melainkan menumbuhkan suatu solidaritas kelompok atau organisasi.
             Tingkat abstraksi Ibnu Khaldun mengenai masyarakatnya yang secara sederhana, ia menyebutnya dengan masyarakat nomaden(pengembara) dan masyarakat kota (menetap), pada dasarnya merupakan konsep-konsep sosiologi. Penjelasannya dengan solidaritas yang dibingkai agama dalam masyarakat yang multi etnik (plural), kelompok-kelompok dan suku-suku menjadi hangat yang dibingkai denagn agama.

E.       AGAMA, ETNIS DAN CITA-CITA KELOMPOK
            Dalam kajian tentang masyarakat terbelakang dan suku-suku tradisional, seringkali melahirkan suatu kesimpulan bahwa mereka memiliki tingkat solidaritas yang tinggi. Solidaritas tersebut diikat oleh suatu keyakinan bersama mengenai adanya tuhan semesta alam.
           Cita-cita kelompok atau suku biasanya muncul dari lembaga-lembaga atau agama yang dilembagakan seperti dalam masyarakat sederhana. Dalam masyarkat seperti ini, agama dilembagakan, doktrin dan ritual keagamaan telah dibakukan dan diresmikan serta dipandang penting bagi anggota suku-suku.
            Menurut pandangan Ibnu Khaldun, bahwa tidak ada perbedaan antara etnis dan agama. Konsep ahobiyah yang merupakan konsep kunci pemikiran sosiologi Ibnu Khaldun dapat menjadi pisau analisis dalam memahami kondisi-kondisi sosial masyarakat. Menurut Spickard, dua istilah etnis dan agama, tidak ada yang lebih unggul satu dibanding lainnya, perasaan berkelompok sendiri bisa dimiliki oleh setiap orang seiring dengan pertemuan terjadi. Agama dan etnik menurut Ibnu Khaldun, merupakan identitas sendiri bukanlah merupakan atribut persnonal, melainkan atribut kelompok. Itulah alasannya, etnisitas dan agama merupakan fungsi kelompok, yang dalam bahasa Khaldun disebut dengan Ashobiyah.
             Masyarakat terbangun diatas pluralitas agama, etnik, suku-suku, dan berbagai kelompok yang memiliki kecenderungan dan cita-cita politik sendiri-sendiri. Dalam sejarah, masyarakat dan agama merupakan dua entitas yang selalu menyatu dengan dimensi kehidupan manusia.




BAB III
ARGUMENTASI PRIBADI

Sesungguhnya dalam kehidupan manusia tidak pernah lepas dari adanya perbedaan antara individu satu dengan yang lainnya. Dalam kehidupan masyarakat selalu tersimpan/terbentuk suatu fenomena nyata yang tak bisa dihindari oleh manusia, karena kehidupan manusia yang bersifat dinamis dan selalu berkembang dari waktu ke waktu. Terbentuknya suatu kelompok atau tatanan masyarakat dan berbagai konflik dan fenomena yang terjadi di dalamnya, menarik perhatian dari para ahli sosiologi dari barat, seperti weber, marx, durkheim dan yang lainnya, untuk membuat suatu proyek penelitian terhadap kehidupan masyarakat.
Dalam kehidupan masyarakat dan terciptanya solidaritas yang tinggi dalam kelompok-kelompok sosial di karenakan adanya landasan atau dasar dari agama yang diyakini. Dengan adanya agama/nilai-nilai agam dalam setiap kehidupan masyarakat, dapat menjadi faktor pemersatu antara manusia satu dengan yang lainnya dan menanamkan perasaan solidaritas dalam lingkaran kehidupan sosial manusia. Maka dari itu adanya korelasi antara islam/agama dengan sosiologi, sangatlah penting, keduanya mempunyai keterkaitan yang sangat erat untuk dapat menciptakan masyarakat yang damai dan sejahtera.
Sesungguhnya agama dan masyarakat merupakan dua entitas yang menyatu dan terkait, agama islam dapat menjadi pemandu bagi moralitas warga/masyarakat, dan juga menjadi posisi sentral bagi terbentuknya suku dan etnik. Dalam kehidupan masyarakat agama adalah suatu sumber otoritatif bagi terbentuknya ashobiyah/solidaritas, baik dikalangan masyarakat nomaden maupun dikalangan masyarakat menetap. Agama islam dijadikan dasar titik sentral yang dapat mengikat adanya interaksi sosial tiap individu serta yang dapat mengatur hubungan sosial masyarakat dengan baik, dan adanya nilai-nilai agama ialah menjadi Patron untuk dapat membentuk watak dalam tiap individu. Dalam hal ini, agama yang terdapat dalam masyarakat (khususnya agama islam) memiliki pola keyakinan/doktrin yang dapat menentukan manusia untuk dapat menjalin hubungan baik dengan sesamanya maupun dengan Allah Swt.
Betapa pentingnya peran dan fungsi islam/agama dalam kehidupan setiap individu atau masyarakat. Agama merupakan suatu alat yang bisa mempersatukan kehidupan yang memiliki orientasi religius, dari adanya keyakinan atau agama dalam kehidupan manusia dapat menghilangkan persaingan dan perasaan saling iri dan dengki yang selalu ada dalam kelompok, suku, etnik, dan masyarakat. Dengan adanya agama dalam lingkaran masyarakat dapat membangun bangunan struktur politik dan mengembangkan perekonomian dalam kehidupan masyarakat.
Dari sosiologi islam Ibnu Khaldun, perlu diketahui bahwa islam memiliki kebersinggungan langsung dengan dialektika sosial yang berlangsung dalam realitas kehidupan masyarakat. Agama ,masyarakat dan perubahan sosial memiliki pengaruh yang sangat kuat untuk dapat membentuk peradaban manusia yang sejahtera.


DAFTAR PUSTAKA

o   Bryan S. Turner, SOSIOLOGI ISLAM Suatu Telaah Analitis Atas Tesa Sosiologi Weber, 1984, Jakarta, Hal:  3 – 8, 261 – 278, 289 – 299.

o   Syarifudin jurdi, SOSIOLOGI ISLAM Elaborasi Pemikiran Sosial Ibnu Khaldun, 2008, Yogyakarta, Hal: 198 – 204, 205 – 211. 











Tidak ada komentar:

Posting Komentar